Bisa dibilang selama hidupku ini aku nyaris tak pernah meninggalkan kota kelahiranku tercinta. Aku hanya sempat meninggalkan kota kelahiranku selama 5 tahun, saat aku kuliah di Yogyakarta. Memang, waktu 5 tahun adalah waktu yang sangat singkat bila dibandingkan dengan usiaku saat ini. Namun meskipun singkat, aku tak akan pernah melupakan kenangan 5 tahun hidup di perantauan.
Aku sangat mensyukuri kesempatan yang pernah aku dapatkan sebagai perantau, karena masih banyak temanku yang selama hidupnya tak pernah keluar dari kota kelahiran. Jika orang bertanya padaku apakah aku menikmati masa-masa sebagai perantau, maka aku tanpa ragu-ragu akan menjawab : sangat menikmati !
Jika aku tidak pernah tinggal di perantauan, maka aku tidak memiliki kesempatan untuk belajar hidup mandiri. Sebagai perantau aku harus bisa mengatur segala sesuatunya sendiri. Aku harus bisa menangani banyak hal sendiri, mengatasi berbagai masalah sendiri. Aku juga belajar untuk tidak cengeng dan belajar lebih dewasa.
Kenangan yang tak terlupakan selama 5 tahun di perantauan tentu saja sangat banyak. Begitu banyak hal terjadi dalam rentang waktu 5 tahun itu. Apa yang saat itu terasa indah, lucu, mengharukan, menyedihkan, menyenangkan namun kini aku mengenang semuanya dengan senyuman.
Aku mengenang dengan senyuman saat-saat aku harus mampu mengatur agar uang kiriman orangtuaku cukup untuk makanku selama 1 bulan. Aku ingat saat aku pegang banyak uang (biasanya di awal bulan) aku bisa makan nasi lengkap dengan sayur dan lauk yang aku suka, meski tetap tidak berlebihan. Bila aku merasa aku sudah terlalu boros, menu makanku berganti menjadi mie instan. Namun, di saat keuanganku benar-benar sudah menipis, menu andalanku adalah : cukup singkong rebus yang terasa manis karena diberi bumbu gudeg! (hanya ada di yogya yang seperti ini hehehe)
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku harus rela jalan kaki pagi-pagi sekali, menuju wartel yang berjarak kurang lebih 200 meter dari kostku. Demi menuntaskan rasa kangen pada kedua orang tuaku maka aku akan memilih telpon pada jam-jam "murah" sebelum jam 6 pagi. Biasanya, aku akan mengantri di wartel dengan gelisah, sambil bolak balik lihat jam, karena meskipun masih pagi banyak mahasiswa yang memilih untuk telpon ke kampung masing-masing pada pagi hari. Pernah juga, sudah capek antri, ternyata saat aku dapat kesempatan untuk masuk bilik wartel jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat. Kalau sudah begitu, aku akan memilih pulang dan mencoba lagi esok hari. Antri lagi... hehehe.
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku dulu panik luar biasa karena tanpa sengaja ~sekali lagi, tanpa sengaja~ aku bolos kuliah! Itu terjadi hanya gara-gara aku salah lihat jadwal kuliah. Dan... gara-gara bolos yang tak sengaja itu, seharian aku panik dan takut luar biasa. Aku yang di kost gelisah tanpa tahu harus berbuat apa. Maklum sajalah, itu adalah pertama kalinya aku bolos seumur hidupku saudara-saudara... (eits, jangan diketawain dong).
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku terjatuh dari tangga kampus, sampai harus digotong dan diantar pulang ke kost. Bahkan akhirnya aku diantar ke rumah sakit gara-gara aku pingsan di kamar mandi kost. Atau saat aku drop dan jatuh sakit karena kelelahan ataupun karena perubahan cuaca. Semuanya perasaan yang tak nyaman saat itu membuatku berusaha mensugesti diri sendiri bahwa aku kuat dan tak ingin sakit lagi. Ternyata, sugesti itu seringkali terbukti manjur lo.
Aku akan mengenang dengan senyuman tentang kehangatan yang tercipta antara aku dan teman-teman kostku. Bagaimana kami saling berbagi makanan, bagaimana kami bercanda bersama, jalan-jalan bersama bahkan menangis bersama. Namun, aku juga akan mengenang dengan senyuman 'perseteruan' yang sempat terjadi antara aku dengan seorang temanku kostku hanya gara-gara kesalahpahaman dan miskomunikasi.
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku tiba-tiba meneteskan air mata putus asa, karena draft kuesioner yang aku buat berkali-kali ditolak dosen pembimbing. Atau saat aku nyaris putus asa mencari bahan untuk penelitianku. Atau saat aku nangis karena beberapa kali data skripsi yang susah payah aku masukkan hilang gara-gara lampu mati padahal belum sempat aku simpan.
Aku juga akan mengenang dengan senyuman saat tiba-tiba kekasih hati yang kuliah di Bandung (kini suamiku) datang mengunjungiku. Atau saat aku berhasil lulus dan diwisuda didampingi orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku.
Semua itu hanya sedikit dari banyaknya kenanganku 5 tahun hidup di perantauan. Aku yakin, kenanganmu di perantauan tak kalah serunya dari pengalamanku bukan, Sahabat?
Aku sangat mensyukuri kesempatan yang pernah aku dapatkan sebagai perantau, karena masih banyak temanku yang selama hidupnya tak pernah keluar dari kota kelahiran. Jika orang bertanya padaku apakah aku menikmati masa-masa sebagai perantau, maka aku tanpa ragu-ragu akan menjawab : sangat menikmati !
Jika aku tidak pernah tinggal di perantauan, maka aku tidak memiliki kesempatan untuk belajar hidup mandiri. Sebagai perantau aku harus bisa mengatur segala sesuatunya sendiri. Aku harus bisa menangani banyak hal sendiri, mengatasi berbagai masalah sendiri. Aku juga belajar untuk tidak cengeng dan belajar lebih dewasa.
Kenangan yang tak terlupakan selama 5 tahun di perantauan tentu saja sangat banyak. Begitu banyak hal terjadi dalam rentang waktu 5 tahun itu. Apa yang saat itu terasa indah, lucu, mengharukan, menyedihkan, menyenangkan namun kini aku mengenang semuanya dengan senyuman.
Aku mengenang dengan senyuman saat-saat aku harus mampu mengatur agar uang kiriman orangtuaku cukup untuk makanku selama 1 bulan. Aku ingat saat aku pegang banyak uang (biasanya di awal bulan) aku bisa makan nasi lengkap dengan sayur dan lauk yang aku suka, meski tetap tidak berlebihan. Bila aku merasa aku sudah terlalu boros, menu makanku berganti menjadi mie instan. Namun, di saat keuanganku benar-benar sudah menipis, menu andalanku adalah : cukup singkong rebus yang terasa manis karena diberi bumbu gudeg! (hanya ada di yogya yang seperti ini hehehe)
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku harus rela jalan kaki pagi-pagi sekali, menuju wartel yang berjarak kurang lebih 200 meter dari kostku. Demi menuntaskan rasa kangen pada kedua orang tuaku maka aku akan memilih telpon pada jam-jam "murah" sebelum jam 6 pagi. Biasanya, aku akan mengantri di wartel dengan gelisah, sambil bolak balik lihat jam, karena meskipun masih pagi banyak mahasiswa yang memilih untuk telpon ke kampung masing-masing pada pagi hari. Pernah juga, sudah capek antri, ternyata saat aku dapat kesempatan untuk masuk bilik wartel jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat. Kalau sudah begitu, aku akan memilih pulang dan mencoba lagi esok hari. Antri lagi... hehehe.
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku dulu panik luar biasa karena tanpa sengaja ~sekali lagi, tanpa sengaja~ aku bolos kuliah! Itu terjadi hanya gara-gara aku salah lihat jadwal kuliah. Dan... gara-gara bolos yang tak sengaja itu, seharian aku panik dan takut luar biasa. Aku yang di kost gelisah tanpa tahu harus berbuat apa. Maklum sajalah, itu adalah pertama kalinya aku bolos seumur hidupku saudara-saudara... (eits, jangan diketawain dong).
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku terjatuh dari tangga kampus, sampai harus digotong dan diantar pulang ke kost. Bahkan akhirnya aku diantar ke rumah sakit gara-gara aku pingsan di kamar mandi kost. Atau saat aku drop dan jatuh sakit karena kelelahan ataupun karena perubahan cuaca. Semuanya perasaan yang tak nyaman saat itu membuatku berusaha mensugesti diri sendiri bahwa aku kuat dan tak ingin sakit lagi. Ternyata, sugesti itu seringkali terbukti manjur lo.
Aku akan mengenang dengan senyuman tentang kehangatan yang tercipta antara aku dan teman-teman kostku. Bagaimana kami saling berbagi makanan, bagaimana kami bercanda bersama, jalan-jalan bersama bahkan menangis bersama. Namun, aku juga akan mengenang dengan senyuman 'perseteruan' yang sempat terjadi antara aku dengan seorang temanku kostku hanya gara-gara kesalahpahaman dan miskomunikasi.
Aku akan mengenang dengan senyuman saat aku tiba-tiba meneteskan air mata putus asa, karena draft kuesioner yang aku buat berkali-kali ditolak dosen pembimbing. Atau saat aku nyaris putus asa mencari bahan untuk penelitianku. Atau saat aku nangis karena beberapa kali data skripsi yang susah payah aku masukkan hilang gara-gara lampu mati padahal belum sempat aku simpan.
Aku juga akan mengenang dengan senyuman saat tiba-tiba kekasih hati yang kuliah di Bandung (kini suamiku) datang mengunjungiku. Atau saat aku berhasil lulus dan diwisuda didampingi orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku.
Semua itu hanya sedikit dari banyaknya kenanganku 5 tahun hidup di perantauan. Aku yakin, kenanganmu di perantauan tak kalah serunya dari pengalamanku bukan, Sahabat?
senangnya membaca kisahmu di Yogya mbak. Lima tahun bukan waktu yang sedikit untuk sebuah kenangan.
BalasHapusmb Reni orang yang sangat baik, tentu lebih banyak kenangan manis yang terbangun disana.
Perantauanku malah baru dimulai sejak kurang dr 5 tahun yg lalu di Bogor ini mbak hehe, asliku dari Bandung.
Ah senangnya blogwalkingku kuawali di rumah virtualmu, sampai nggak terasa agak berkaca-kaca ni bacanya :)
@zaffara >> Mbak Winny... senengnya pagi-pagi dapat tamu dari Bogor. Ternyata mbak tinggal di Bogor baru kurang lebih 5 tahun yang lalu ya? Tapi hidup di perantauan bersama keluarga kan berbeda rasanya jika hidup di perantauan sendirian mbak :)
BalasHapussaya dulu ketika pergi dari rumah tak diniati merantau mbak, prinsip saya waktu itu adalah: dimana bumi dipijak disitulah tempat saya. maka saya yang sudah pontang-panting kesana kemari masih merasa belum kemana-mana karena belum sampai ke negri yang jauh.
BalasHapus@Muhammad A Vip >> wah aku juga pengen tuh bisa ngerasain pergi ke tempat yang jauh Mas
BalasHapus@PakIes >> utk urusan merantau aku kalah jauh ya dibandingkan PakIes.. aku hanya sempat tinggal di kota lain selama 5 tahun tapi PakIes jauh lebih lama dan berpindah-pindah lagi :)
kenangannya ada yang mirip denganku, aku pernah makan singkong tiga hari berturut-turut
BalasHapus@Eka Soepadmo >> wah ternyata ada juga yang makan singkong spt aku hehehe
BalasHapussenang baca kisah mu mbak, ternyata orang dirantau kisahnya penuh haru biru walau ada bahagia diantaranya. salam rantau
BalasHapus@Lisa Tjut Ali >> wah kisahku di perantauan sih gak sebanding dg mbak yg merantau jauh ke Malaysia dan Jerman kan :)
BalasHapusSingkong rebus bumbu gudeg? Jadi pengen nyobain. *fokusnya kok ke makanannya*
BalasHapus