Pages

Minggu, Mei 05, 2013

Kemiskinan dan Penguasa

Terus terang, sebagian dari kegundahan mbak Evi yang dituangkan dalam rumah dan kemiskinan juga membuat gundah hatiku. Rasa gundah bahwa ternyata masih banyak rakyat di negara kita terpaksa hidup dalam rumah-rumah tidak layak huni, karena belenggu kemiskinan yang tak mampu mereka enyahkan.

Aku yakin, akan banyak orang yang merasa trenyuh juga sepertiku, saat membaca deskripsi mbak Mbak Evi tentang kondisi rumah-rumah tersebut. Dinding bambu, atap ijuk bercampur rumbia dan lantai tanah memang tak akan mampu menahan hawa dingin yang menggigit. Jika musim hujan tak akan dapat dielakkan lantai tanah menjadi becek dan lembab. Sungguh memprihatinkan. Apabila bertukar tempat dengan mereka, barang semalam saja, mampukah kita menjalani hidup di dalam rumah yang bahkan tak mampu memberikan tempat berlindung yang nyaman bagi penghuninya?.

Aku juga merasakan gundah yang sama seperti yang dirasakan mbak Evi soal hanya segelintir orang saja yang menikmati kekayaan sumber daya alam negara kita. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Sangat patut disayangkan bahwa kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara kita ini tak mampu untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya secara adil dan merata.

Namun, ada satu kegundahan mbak Evi yang tak menjadi kegundahanku saat ini. Mbak Evi menyesal tidak terlalu serius saat sekolah dulu, sehingga kini tak jadi penguasa. Nah, inilah yang tak membuatku gundah. Aku juga bukan penguasa tapi aku tak gundah karenanya. Bukan karena aku tak ingin bisa melakukan banyak untuk membantu sebanyak mungkin bagi warga miskin itu. Bagiku, penguasa itu identik dengan orang yang berkuasa atau pemerintah dan masih menurutku menjadi penguasa bukan cara jitu membantu para warga miskin itu.

Mengapa aku berpikir seperti itu? Untuk menjawabnya, ijinkan aku menyampaikan opiniku :
  • Penguasa identik dengan birokrasi dan siapapun tahu betapa "rumit" dan berlikunya birokrasi di negara kita. Dengan birokrasi seperti itu, pengambilan keputusan membutuhkan waktu yang sangat lama, padahal kemiskinan sudah sekian lama menjerat sebagian besar rakyat di negara kita dan hingga kini masih sulit melepaskannya.
  • Penguasa bukanlah pemegang otoritas mutlak, karena disamping eskekutif ada legislatif. Disaat eksekutif ingin bergerak, tapi dihadang oleh legislatif (yang biasanya dilakukan oleh lawan-lawan politik), atau sebaliknya. Jika seperti ini, akhirnya kebijakan hanyalah tinggal wacana. Satu lagi yang "membatasi" gerak penguasa adalah peraturan, sehingga untuk  bisa melaksanakan suatu kebijakan perlu disesuaikan dulu dengan berbagai macam aturan yang ada. Dan itu butuh waktu.
  • Penguasa negara kita adalah suatu "lembaga" pemerintahan, dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya masuk dengan berbagai macam alasan yang beragam. Sangat mungkin tujuan yang ingin dicapai oleh penguasa tidak didukung oleh orang-orang yang berada di bawahnya. Ataupun kalau dijalankan, akan banyak "penyimpangan" dalam pelaksanaanya. Jadi, menurutku pemimpin/penguasa yang baik itu belum cukup, jika tidak diikuti oleh orang-orang di bawahnya yang baik pula. Berbeda dengan suatu organisasi, dimana orang-orang yang masuk di dalamnya dikarenakan tujuan yang ingin mereka capai sama dengan tujuan yang ingin dicapai organisasi itu.

Mungkin, apa yang aku sampaikan ini merupakan akumulasi kekecewaan-ku sebagai warga negara. Namun, aku tak hendak menunjuk orang per orang yang bertanggung jawab atas kemiskinan itu. Aku tak hendak menunjuk penguasa yang bersalah karena tak mampu mengatasi kemiskinan itu. Aku tidak menutup mata bahwa masih ada penguasa-penguasa yang peduli pada warga miskin dengan membangun rumah-rumah layak huni ataupun melakukan bedah rumah terhadap rumah-rumah tidak layak huni. Tapi... itu jumlahnya sangat sedikit bukan?

Yang jelas, setelah membaca postingan mbak Evi itu aku menyadari satu hal : bahwa kita harus bergerak sendiri tanpa menunggu uluran tangan dari orang lain. Aku melihat bahwa sudah banyak lembaga non pemerintah, swasta maupun pribadi yang mampu melakukan sesuatu untuk warga miskin tersebut. Mereka (lembaga non pemerintah, swasta maupun pribadi) akan lebih leluasa bergerak tanpa aturan birokrasi. Mereka punya kewenangan mutlak untuk menggunakan dana yang mereka punya sesuai keinginan mereka sendiri. Yang juga melegakan adalah orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan keprihatinan yang sama terhadap warga miskin.

Jadi, menurutku kita rasanya harus mengikuti jejak mereka untuk bergerak tanpa menunggu sang penguasa bergerak. Meskipun sejatinya "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara", tapi jika kita (baik secara pribadi maupun berkelompok) mampu melakukannya mengapa tidak. Bukankah akan lebih membahagiakan jika kita mampu melakukannya selagi kita bukanlah "siapa-siapa" ?



18 komentar:

  1. Itulah kenyataannya, negara yang katanya kaya raya, penuh susu dan madu tapi sebagian besar rakyatnya masih ngos2an buat bertahan hidup... salah apa?? Dimana??

    BalasHapus
  2. Idealnya emang begitu ya Mbak Reni, jangan menunggu uluran tangan penguasa untuk memperbaiki nasib kita.. Harus ada dobrakan mental kayaknya Mbak.

    Terima kasih ya telah meramaikan GA-ku. Sudah aku catat Mbak :)

    BalasHapus
  3. Memang diperlukan keberanian besar bagi diri kita untuk membantu saudara kita yang kekurangan. Kadang birokrasi yang bertele-tele menjadi penghambat. Dan jika seperti itu, lebih baik kita mulai dari diri kita sendiri.

    BalasHapus
  4. @Bang Ancis >> Itulah PR yang masih harus diselesaikan oleh pemimpin kita Bang.

    @Evi >> Bener mbak, kita rasanya harus melakukan dobrakan mental. Khususnya bagi warga miskin tsb agar mereka tidak berharap terlalu banyak pada orang lain (baca : penguasa) dan mulai memperbaiki nasibnya sendiri. Oya, terimakasih sudah mencatatku sebagai peserta ya Mbak :)

    @Coretan Hidup >> Ya... dan kita tahu betapa rumit dan berlikunya birokrasi kan :)

    BalasHapus
  5. bnr bgt mba, karena kalo bkn kita, siapa lagi?

    BalasHapus
  6. ya mbak'e bener banget..sebenarnya kita bisa merubah sekitar di mulai dari kita..tanpa harus menunggu pemerintah..
    walau kecil tapi bermanfaat..(^_^)

    BalasHapus
  7. @Penghuni 60 >> Ya mungkin kita hanya mampu melakukan sedikit utk mereka2 yang membutuhkan tapi jika kita tulus pasti akan sangat berarti bagi mereka ya?

    @Aisyah Muna >> sip..! Sepakat. Sekarang sudah banyak kan kelompok2 atau komunitas2 yang melakukan tindakan nyata utk menolong saudara2 kita yang "kurang beruntung" spt itu.

    BalasHapus
  8. sebenarnya kita sendirilah yang menentukan masa depan kita, apakah kita mau jadi orang sukses atau tidak, dan itu adalah hak kita dalam memilih jalan hidup yang akan kita jalani, bukan karena pengaruh siapa-siapa, juga bukan oleh pengaruh penguasa...salam , semoga menjadi yang terbaik dalam lomba GA-nya :-)

    BalasHapus
  9. Iya mbak Reni kayak lagu saja ya

    Yang kaya makin kaya
    Yang miskin makin miskin


    sukses GA-nya mbak. Jangan lupa kalau menang 2,5 % buat fakir miskin dan anak-anak terlantar yang dipelihara negara haha

    BalasHapus
  10. Mbak Reni tulisannya bagus banget deh. Mau sering2 kesini buat belajar

    BalasHapus
  11. Kadang kita itu sering sibuk menunjuk pemerintah mbak Ren. padahal kita sendiri sebenarnya bisa juga berperan aktif memerangi kemiskinan.

    Yuk kita lakukan semampu kita

    terima kasih sudah menyemarakkan GA mbak Evi.. sudah tercatat sebagai peserta ya

    BalasHapus
  12. ripiyunya keren Mbaaakkk...

    Sukses yaaa... :)

    BalasHapus
  13. @BlogS of Hariyanto >> Memang harusnya kita sadar bahwa nasib kita tergantung pada diri kita sendiri, Pak. BTW makasih banget utk doanya :)

    @LAdangduters >> lagu dangdut ya? emang ada? Apa judulnya? :)

    @Lozz Akbar >> kalau kita hanya tergantung pada pemerintah maka kita akan jalan di tempat, Kang karena pemerintah punya banyak "keterbatasan" meskipun sejatinya sangat banyak "kelebihan" yang mereka miliki

    @Lieshadi >> Makasih Maaakkk... thanks doanya. Moga Mak Lies sukses juga :)

    BalasHapus
  14. pergerakan di bawah tanpa menunggu pergerakan di atas. huwaa, itu dia mbak! mulai perubahan dari bawah :)

    BalasHapus
  15. kemiskinan itu sunnatullah, tak bisa ditolak. yang perlu dibenahi menurut saya adalah kefakiran (rasa kekurangan), ini yang bahaya. bayangkan koruptor itu, sudah punya uang dan banda banyak masih kurang terus, akibatnya sudah kita saksikan semua.

    BalasHapus
  16. Menyesakkan memang. Tapi begitulah realitanya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
    Sedih..

    BalasHapus
  17. memulai dari diri sendiri dan menjdi teladan didlm komunitasnya... thx for sharing !

    BalasHapus
  18. Miris memang melihat kenyataan di negara kita tercinta ini.

    BalasHapus

Komentarnya dimoderasi dulu ya? Terimakasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. (^_^)