Akhirnya, aku berhasil juga menuntaskan membaca Surat Dahlan hari ini. Sebetulnya, novel karya Khrisna Pabichara ini sudah ada di mejaku sejak beberapa saat yang lalu, namun kesibukan membuatku tak mampu menjangkaunya. Hingga, kemarin malam sebelum tidur dan berlanjut hari ini sepulang kantor aku mengesampingkan hal lain, untuk bisa menuntaskan novel ini hari ini juga.
Membaca Surat Dahlan aku seakan diajak untuk bertualang dalam banyak hal. Petualangan hidup di perantauan dalam keterbatasan yang seringkali menyesakkan : keterbatasan ekonomi. Petualangan dan perjuangan dalam menegakkan idealisme yang bergolak dalam jiwa muda yang menolak melihat kondisi Ibu Pertiwi yang menyedihkan. Petualangan menaklukkan rasa takut saat hidup sebagai "buronan". Petualangan dalam meraih masa depan yang lebih baik. Dan tak lupa... petualangan dalam meraih cinta. Aihhh..., betul-betul paket komplit dalam sebuah novel.
Terus terang, aku dibuat kagum membaca novel yang terinspirasi kisah kehidupan Dahlan Iskan ini. Begitu banyak kejadian ~yang menurutku~ luar biasa yang terjadi dalam hidupnya. Hal itu membuatku mau tak mau harus mengakui bahwa memang pengalaman hidup memberikan banyak sekali manfaat bagi pelakunya. Aku yakin, tanpa pengalaman-pengalaman menakjubkan itu, seorang Dahlan Iskan tak akan pernah menjadi seperti Dahlan Iskan yang sekarang. Jadi, beruntunglah Dahkan Iskan.
Selain belajar dari pengalaman hidup, Dahlan Islan juga berhasil belajar dari begitu banyak orang hebat yang ditemuinya dalam rentang kehidupannya. Untungnya, Dahlan adalah orang yang suka belajar dari orang lain, siapapun itu. Melalui orang-orang yang hadir dalam hidupnya itu Dahlan tumbuh dan berkembang menjadi seperti sekarang ini.
Membaca Novel Surat Dahlan, aku seolah dihadapkan pada metamorfosis kehidupan seorang Dahlan Iskan. Berbekal sosok Dahlan (dalam Novel Sepatu Dahlan) yang sebagai anak kampung, miskin dan tak banyak bicara, aku dihadapkan pada sosok Dahlan muda yang masih gamang akan diri dan masa depannya. Pergumulan emosi Dahlan terasa sangat kuat saat masih berstatus mahasiswa. Namun saat memasuki dunia kerja, mulai terasa lagi perubahan dalam sosok Dahlan dan kian terasa berbeda saat Dahlan berumah tangga. Sungguh, tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bahwa pada akhirnya Dahlan akan mampu bersikap hangat dan romantis pada istrinya, yang diawal digambarkan tomboy itu.
Tanpa kusadari, aku keasyikan membaca novel ini. Bukan saja karena begitu banyak kisah luar biasa aku temukan disini, namun aku mendapat banyak pesan yang mau tak mau membuatku sempat menghentikan sejenak kegiatan membacaku untuk merenungkannya. Pesan yang disampaikan oleh Pak Iskah melalui dongeng dan nasihat yang seringkali dikenang Dahlan. Pesan melalui seloroh atau ucapan dari orang-orang terdekat Dahlan, seperti Mbak Atun, Mas Sam, Nenek Saripa, Pak Sabri dan sebagainya. Bahkan pesan itu aku terima bukan lewat kata-kata, tapi juga melalui sejarah kehidupan Dahlan.
Jadi begitulah, tanpa kusadari aku membaca buku ini dengan serius karena aku tak ingin melewatkan pesan-pesan yang berharga itu. Namun, ada juga saat dimana aku bisa merasa 'rileks' membacanya yaitu saat aku membaca 'surat'. Untungnya ada banyak 'surat' di dalam Surat Dahlan ini, khususnya dari Aisha. Saat membaca surat-surat itu... aku menikmati sekali keindahan bahasa yang digunakan penulisnya dalam mengungkapkan rasa. Keindahan itu membuatku lupa sejenak akan peliknya beban kehidupan dari seorang Dahlan.
Akhirnya, aku bisa menutup novel ini dengan senyuman dan jadi tak sabar menunggu terbitnya buku ketiga : Senyum Dahlan.
Membaca Surat Dahlan aku seakan diajak untuk bertualang dalam banyak hal. Petualangan hidup di perantauan dalam keterbatasan yang seringkali menyesakkan : keterbatasan ekonomi. Petualangan dan perjuangan dalam menegakkan idealisme yang bergolak dalam jiwa muda yang menolak melihat kondisi Ibu Pertiwi yang menyedihkan. Petualangan menaklukkan rasa takut saat hidup sebagai "buronan". Petualangan dalam meraih masa depan yang lebih baik. Dan tak lupa... petualangan dalam meraih cinta. Aihhh..., betul-betul paket komplit dalam sebuah novel.
Terus terang, aku dibuat kagum membaca novel yang terinspirasi kisah kehidupan Dahlan Iskan ini. Begitu banyak kejadian ~yang menurutku~ luar biasa yang terjadi dalam hidupnya. Hal itu membuatku mau tak mau harus mengakui bahwa memang pengalaman hidup memberikan banyak sekali manfaat bagi pelakunya. Aku yakin, tanpa pengalaman-pengalaman menakjubkan itu, seorang Dahlan Iskan tak akan pernah menjadi seperti Dahlan Iskan yang sekarang. Jadi, beruntunglah Dahkan Iskan.
Selain belajar dari pengalaman hidup, Dahlan Islan juga berhasil belajar dari begitu banyak orang hebat yang ditemuinya dalam rentang kehidupannya. Untungnya, Dahlan adalah orang yang suka belajar dari orang lain, siapapun itu. Melalui orang-orang yang hadir dalam hidupnya itu Dahlan tumbuh dan berkembang menjadi seperti sekarang ini.
Membaca Novel Surat Dahlan, aku seolah dihadapkan pada metamorfosis kehidupan seorang Dahlan Iskan. Berbekal sosok Dahlan (dalam Novel Sepatu Dahlan) yang sebagai anak kampung, miskin dan tak banyak bicara, aku dihadapkan pada sosok Dahlan muda yang masih gamang akan diri dan masa depannya. Pergumulan emosi Dahlan terasa sangat kuat saat masih berstatus mahasiswa. Namun saat memasuki dunia kerja, mulai terasa lagi perubahan dalam sosok Dahlan dan kian terasa berbeda saat Dahlan berumah tangga. Sungguh, tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bahwa pada akhirnya Dahlan akan mampu bersikap hangat dan romantis pada istrinya, yang diawal digambarkan tomboy itu.
Tanpa kusadari, aku keasyikan membaca novel ini. Bukan saja karena begitu banyak kisah luar biasa aku temukan disini, namun aku mendapat banyak pesan yang mau tak mau membuatku sempat menghentikan sejenak kegiatan membacaku untuk merenungkannya. Pesan yang disampaikan oleh Pak Iskah melalui dongeng dan nasihat yang seringkali dikenang Dahlan. Pesan melalui seloroh atau ucapan dari orang-orang terdekat Dahlan, seperti Mbak Atun, Mas Sam, Nenek Saripa, Pak Sabri dan sebagainya. Bahkan pesan itu aku terima bukan lewat kata-kata, tapi juga melalui sejarah kehidupan Dahlan.
Tak ada daging yang paling enak dan paling baik selain lidah dan hati, tentu bila keduanya baik. Tapi, kalau keduanya tidak baik, tak ada daging yang paling tidak enak selain lidah dan hati
Jadi begitulah, tanpa kusadari aku membaca buku ini dengan serius karena aku tak ingin melewatkan pesan-pesan yang berharga itu. Namun, ada juga saat dimana aku bisa merasa 'rileks' membacanya yaitu saat aku membaca 'surat'. Untungnya ada banyak 'surat' di dalam Surat Dahlan ini, khususnya dari Aisha. Saat membaca surat-surat itu... aku menikmati sekali keindahan bahasa yang digunakan penulisnya dalam mengungkapkan rasa. Keindahan itu membuatku lupa sejenak akan peliknya beban kehidupan dari seorang Dahlan.
Akhirnya, aku bisa menutup novel ini dengan senyuman dan jadi tak sabar menunggu terbitnya buku ketiga : Senyum Dahlan.
Judul : Surat Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I ( Januari, 2013)
Tebal : 396 halaman
Harga : Rp. 64.500
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I ( Januari, 2013)
Tebal : 396 halaman
Harga : Rp. 64.500
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Resensi Novel Surat Dahlan yang diselenggarakan oleh Social Network Indonesia
sepertinya buku surat dahlan ini bakalan jadi best seller dech :-)
BalasHapusSepertinya buku bagus nih..
BalasHapusSuka salut sama orang2 yang bisa bisa bikin novel dari kehidupan nyata, juga sama orang2 yang berani menceritakan kisah hidupnya ke dalam sebuah buku...
aku jg udah selesai baca buku ini mba Reeeen, emang keren ya *jempol*
BalasHapusikutan jg ah lombanya. Gudlak ya mba ;)
wa aku belum baca niy
BalasHapussibuk baca yang lain2 hampir nda ada waktu baca novel
hik
hik
kalo standarnya bintang satu sampe lima, novel ini dapet bintang berapa mbak??
BalasHapus@BlogS of Hariyanto >> sepertinya begitu Pak...
BalasHapus@Nuel >> ternyata banyak kisah hidup yang mampu menginspirasi orang lain setelah diceritakan lewat sebuah buku :)
@Orin >> jadi ikutan lombanya mbak?
@Seiri Hanako >> sibuk ngurusin pasien ya mbak? hehehe
@Elsa >> kalau aku akan kasih bintang 4 utk novel ini mbak :)
Selalu suka deh membaca resensi2 mu, Mbak. Apik dan mampu mengundang pembacamu untuk 'pengen' ikutan baca buku yang Mbak resensikan.
BalasHapusKeren, sukses yaaaa. :)
@Alaika Abdullah >> Alhamdulillah jika resensiku menarik mbak... :D
BalasHapusTapi jadi semakin banyak, Bu... Hehehe
BalasHapus