Pages

Sabtu, Mei 31, 2014

Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV

Hi friends, ini adalah tulisanku yang kelima tentang Tuberkulosis. Tulisan pertama berjudul "Kenali TB dan Obatilah" lebih membahas secara umum tentang penyakit Tuberkulosis. Tulisan kedua berjudul "Berobatlah, Obat TB Itu Gratis!" menyampaikan informasi bahwa Pemerintah telah menyediakan obat TB bagi para penderitanya, sebagaimana diketahui pengobatan TB tidaklah murah mengingat masa pengobatan yang lama.

Tulisan Ketiga berjudul "Penderita Tuberkulosis Bisa Sembuh" membahas bahwa meskipun angka kematian penderita TB cukup besar, namun jika penderita mau disiplin dan mengikuti semua proses pengobatan dengan benar maka mereka bisa disembuhkan. Sementara tulisan keempat berjudul "TB Resistan Obat: Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati" lebih banyak menyampaikan informasi tentang sulitnya pengobatan bagi para penderita TB resistan obat, sehingga akan lebih baik mencegahnya daripada mengobati.

Kali ini, dalam tulisan kelima, aku akan membicarakan tentang "Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV". Mungkin banyak orang yang merasa aneh ya, mengapa penyakit Tuberkulosis ada hubungannya dengan HIV. Terus terang awalnya aku juga merasa seperti itu, namun setelah aku membaca beberapa artikel aku mulai mengerti keterkaitan antara kedua penyakit itu. Pengen tahu juga, gak? Serius? Oke... kalau begitu, lanjutin aja baca tulisanku di bawah ini.

Sedikit tentang HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah semacam virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan merupakan pencetus munculnya penyakit AIDS (Acquiredimmuno Deficiency Syndrome).

Berdasarkan informasi yang kuperoleh di sini, ternyata untuk wilayah Asia perkembangan epidemi HIV di Indonesia saat ini termasuk yang tercepat. Jika dilihat dari data, diperoleh fakta bahwa jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia mulai tahun 2005 sampai Juni 2013 sebanyak 108.600 kasus.


Jumlah kasus HIV dan AIDS s.d Maret 2012 (credit)

Bila melihat angka di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya Indonesia memiliki prevalensi (jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi pada waktu tertentu) HIV yang rendah. Namun fakta lain menunjukkan bahwa beberapa daerah di Indonesia justru merupakan wilayah dengan epidemi terkonsentrasi. Sebut saja Papua, daerah ini merupakan wilayah dengan epidemi yang meluas dimana prevalensinya sebesar 2,4%. Saat ini, ada 12 provinsi yang telah diidentitikasi sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV.

Ko-infeksi TB-HIV

Pasien penderita infeksi HIV/AIDS mempunyai daya tahan tubuh yang sangat rendah. Hal ini karena virus HIV yang ada di tubuhnya menyerang sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, selemah apa pun penyakit yang menyerang maka sistem kekebalan tubuhnya tidak bisa menangkal. Apalagi jika yang menyerang adalah bakteri TB yang sangat kuat.

Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama bahwa ternyata hubungan antara HIV dan Tuberkulosis berawal dari TB Latent. Yang dimaksudkan dengan TB latent itu adalah kondisi di mana seseorang mempunyai bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TB pada tubuhnya, namun bakteri tersebut tidak aktif atau tertidur.

Penderita infeksi HIV-positif yang juga terinfeksi dengan Tuberkulosis memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengembangkan penyakit TB dibandingkan orang dengan HIV-negatif. Ko-infeksi (adanya 2 atau lebih infeksi yang terjadi secara bersamaan dengan agen kausa yang berbeda) antara TB dan HIV akan menjadikan penyebab kematian utama pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hal ini menjadi tantangan global bagi seluruh dunia kesehatan.

Munculnya epidemi HIV dan AIDS di dunia tersebut jelas-jelas menambah permasalahan dalam penanganan penyakit TB. Laporan WHO menyebutkan bahwa pada Tahun 2012 ada sebanyak 8,6 juta orang terjangkit TB dan dari jumlah sebesar itu yang meninggal dunia sebanyak 15% atau 1,3 juta. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa, dari 1,3 juta yang meninggal itu ternyata 24.6% nya atau sebanyak 320.000 dari 1,3 juta merupakan orang dengan HIV-AIDS (ODHA).


ilustrasi oleh penulis

Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV

Untuk mengatasi ko-infeksi TB dan HIV itu maka perlu dilakukan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan bersama program pengendalian TB dan program pengendalian HIV. Tujuan dari kegiatan kolaborasi ini adalah untuk mengurangi beban TB dan HIV pada masyarakat yang diakibatkan oleh kedua penyakit tersebut.

Wujud dari kegiatan ini adalah mengupayakan percepatan diagnosis dan pengobatan TB pada pasien HIV dan sebaliknya mempercepat diagnosis dan pengobatan HIV pada pasien TB. Bahkan Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia secara tegas menempatkan pasien TB sebagai salah satu pasien yang perlu mendapatkan perhatian untuk dilakukan penawaran tes HIV. Selain itu dipandang perlu melakukan percepatan pemberian ARV (antiretroviral) bagi pasien ko-infeksi TB-HIV.

Upaya pemerintah untuk mempercepat diagnosis TB pada ODHA pun telah ditingkatkan. Pada tahun 2013 pemerintah sudah mengoperasikan mesin Xpert MTB/RIF pada 17 RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Selanjutkan pada tahun 2014 pemakaian mesin Xpret MTB/RIF ini direncanakan ada pada setiap provinsi.

Tantangan Utama Kolaborasi TB-HIV

1. Meningkatkan jejaring layanan kolaborasi antara program TB dan program HIV di semua tingkatan, komitmen politis dan mobilitasasi sumber dana.
Kondisi geografis Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri dalam mewujudkan kolaborasi pengendalian TB-HIV. Jumlah penduduk yang besar dan tersebar luas di puluhan ribu pulau di Indonesia menuntut usaha yang ekstra dari pemerintah agar bisa memberikan pelayanan kepada mereka semua.
Itu sebabnya perlu dukungan dari semua elemen masyarakat dan juga para pengambil kebijakan (elit politik) untuk mau terlibat dalam kegiatan ini. Pemanfaatan sumber daya yang ada perlu diusahakan semaksimal mungkin.

2. Meningkatkan akses tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan yang ditujukan bagi pasien Tuberkulosis dan bagimana membangun jejaring pelayanan diagnosis dan pengobatan.
Mungkin untuk saat ini kemudahan akses tes HIV memang baru didapatkan di kota-kota besar saja. Menjadi tantangan yang tak mudah bagi pemerintah untuk bisa memberikan kemudahan akses pada semua penduduknya di semua pelosok tanah air untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan tepat.
Selain itu memang pemerintah harus bisa membangun jejaring pelayanan kesehatan di semua aspeknya dan di segala pelosok Indonesia, supaya diagnosis dan pengobatan dapat berjalan seiring sejalan sehingga pasien yang didiagnosis penyakit tertentu dapat segara menjalani pengobatan yang tepat.

3. Memastikan bahwa pasien yang terdiagnosis TB dan HIV harus mendapatkan pelayanan yang optimal untuk TB dan secara cepat harus dirujuk untuk mendapatkan dukungan dan pengobatan HIV AIDS dalam hal ini termasuk pemberian pengobatan pencegahan dengan Kontrimoksasol dan pemberian ARV.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengobatan TB saja sudah memakan waktu yang cukup lama dan selama masa itu penderita mengalami efek samping yang tidak menyenangkan. Apalagi jika ditambah dengan pengobatan HIV. Otomatis "beban" yang dirasakan penderita akan jauh lebih berat. Itu sebabnya pemerintah harus mampu mengupayakan pencegahan sekaligus pengobatannya, termasuk di dalamnya memberikan obat gratis.
Selain pemerintah, masyarakat (keluarga dan lingkungan) dituntut untuk mau peduli dan ikut mendorong penderita agar disiplin menjalani pengobatan sampai dinyatakan sembuh. Sebuah tantangan yang tak mudah namun harus mampu dilakukan demi kebaikan bersama.

4. Memastikan pendekatan pelayanan kepada pasien TB-HIV dengan konsep "one stop services"
Hal ini sangat perlu diupayakan oleh pemerintah, agar para pasien TB-HIV mendapatkan kemudahan dalam pengobatan. Apabila pasien harus sibuk kesana kemari untuk menjalani pengobatan maka dapat dipastikan pasien menjadi malas. Selain kemudahan, faktor kenyamanan perlu juga diperhatikan. Padahal, pasien-pasien yang malas berobat itu tak akan mungkin bisa disembuhkan dan terlebih lagi mereka akan menularkan penyakitnya pada lingkungannya.

5. Monitoring dan evaluasi kegiatam kolaborasi TB-HIV
Salah satu kelemahan sistem yang ada selama ini adalah kegiatan yang dilaksanakan tidak dibarengi dengan monitoring dan evaluasi yang teratur. Padahal dengan adanya monitoring dan evaluasi, maka dapat diukur tingkat keberhasilan suatu kegiatan. Dengan monitoring dan evaluasi yang tertib dan teratur maka akan memudahkan pemerintah untuk melakukan kegiatan lanjutan yang diperlukan.

6. Ekspansi ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia.
Untuk bisa mewujudkannya, Pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat dan pihak swasta di seluruh pelosok Indonesia. Apabila ekspansi ke seluruh layanan kesehatan yang ada di Indonesia terwujud maka pemerintah akan jauh lebih mudah dalam melakukan kolaborasi pengendalian penyakit TB-HIV.

Referensi :
http://www.tbindonesia.or.id/tb-hiv/
http://artikeltentangkesehatan.com/tbc-dan-hubungannya-dengan-hivaids.html
http://health.detik.com/read/2014/03/03/182539/2514116/763/ini-lho-hubungan-antara-tb-dengan-hiv-aids


Tulisan ini disertakan dalam Blog Writing Competition Serial #5 dalam rangka Hari Tuberkolosis

3 komentar:

  1. tetep semangat ikutan sampe serial usai ya mak.. semoga sukses

    BalasHapus
  2. Penderita TB di Indonesia masih tinggi, eh disusul pula dgn AIDS yang meningkat terus .... semoga Kolaborasi pengendalian dua penyakit ini bisa lebih cepat dan efektif ya, mbak....sehingga jumlah penderitanya tidak terus bertambah

    Semoga sukses ya mbak .....semoga mbak Reni jadi pemenangnya .....Aamiiin

    BalasHapus
  3. Ide-idenya keren Mbak Reni. Kalau saja diterapkan oleh instansi terkait, Insya Allah kita bisa mengatasi TB-HIV ya..

    BalasHapus

Komentarnya dimoderasi dulu ya? Terimakasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. (^_^)