Tak akan kulupakan kejadian siang itu, saat aku baru saja masuk ke dalam rumah sepupuku yang akan melangsungkan pernikahan. Setelah sibuk dengan peluk cium dengan para kerabat yang kukenal, aku pun segera mengambil tempat duduk.
Baru beberapa menit aku duduk dan ngobrol seru dengan saudara yang lama tak bertemu, tiba-tiba aku terkejut karena lenganku dicubit-cubit. Aku menghentikan obrolanku dan menoleh karena penasaran ingin tahu siapa yang mencubit-cubitku.
Betapa terkejutnya aku saat menemukan gadis kecil yang memandangku dengan mata super besarnya. Siapapun yang memandang wajah itu pasti akan langsung tahu bahwa gadis kecil itu penyandang disabilitas (ketidakmampuan atau keterbatasan yang menghambat untuk bisa berperilaku seperti orang normal lainnya). Dia meringis memamerkan giginya yang ompong sementara tangannya masih sibuk mencubit-cubit lenganku.
Setelah pulih dari rasa terkejutku, aku mencoba untuk menyapanya dan menanyakan namanya. Namun gadis kecil itu hanya memandangku dan kembali meringis. Dia tak menjawab pertanyaanku tapi malah menghentikan gerakan tangannya yang mencubit-cubit lenganku.
Tak mendapat respon darinya, aku coba beralih pada saudara yang duduk di sebelahku yang tadi ngobrol denganku. Kutanyakan padanya tentang identitas gadis kecil itu. Tapi rupanya saudaraku juga tak mengenalnya. Sekali lagi aku memandang wajah gadis kecil itu.
Dari pandangan pertamaku tadi, tak bisa kutepis rasa kasihan yang tiba-tiba muncul di dalam dadaku. Rasa kasihan akan nasib gadis kecil itu, juga rasa kasihan pada orang tua yang mendapatkan 'anugerah' gadis penyandang disabilitas seperti itu. Dan, diam-diam aku bersyukur bahwa aku tak mendapatkan anugerah seperti itu.
Saat aku tengah termangu memandang gadis kecil itu, tiba-tiba muncul di hadapanku seorang wanita muda yang cantik. Rupanya dia adalah ibu dari gadis kecil itu dan tadi sempat meninggalkan Honey sendiri untuk ke kamar kecil. Melihatku dan anak gadis kecilnya saling memandang dalam diam, wanita cantik itu pun memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan gadis kecilnya. Dia ternyata bernama Suci sementara anaknya bernama Honey. Rupanya, mereka adalah kerabat jauh dari sepupuku yang akan menikah itu. Aku memang belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.
Tanpa kuminta, Suci bercerita tentang Honey. Aku terpana memandang Suci yang bercerita (dengan penuh cinta!) tentang Honey. Dikatakannya bahwa Honey memang belum bisa bicara, meski usianya sudah 4 tahun. Diceritakannya bahwa karena Honey belum bisa bicara, maka niatnya untuk berkenalan dengan orang lain biasanya diwujudkan dengan mencubit-cubit lengan orang itu. Persis seperti yang baru saja dilakukannya padaku.
Selanjutnya Suci dengan bangga bercerita bahwa Honey telah bisa berjalan di saat usianya sudah 2 tahun lebih. Dia bercerita banyak tentang kemajuan dan perkembangan Hoeny, yang sebenarnya bisa dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan anak seusianya. Tapi dia terus bercerita dengan bangga sambil membelai Honey yang duduk dalam pangkuannya.
Tak hanya itu, untuk "melengkapi" ceritanya dia pun memamerkan padaku koleksi foto Honey yang di-uploadnya dalam Facebook. Sempat terbaca olehku foto-foto itu dimasukkan dalam album FB dengan judul : My Lovely Honey. Bukan hanya foto Honey yang aku lihat disana, tapi juga foto Honey bersama kedua orang tuanya dan juga kakek neneknya.
Tak ada yang 'tidak pas' dalam foto-foto itu sebenarnya. Suci, si ibu yang tengah sibuk berceloteh di sebelahku, muda dan cantik. Ayahnya juga terlihat muda dan gagah. Mereka terlihat sebagai pasangan muda yang secara finansial berkecukupan. Sementara kakek nenek di foto itu juga berparas rupawan. Satu-satunya yang (kalau boleh disebut) 'tidak pas' di foto itu adalah munculnya wajah gadis kecil yang berbeda dari wajah gadis kecil kebanyakan : wajah Honey.
Aku tidak menanyakan penyakit apa yang diderita Honey. Tapi yang aku tahu, baik ibu, ayah ataupun kakek neneknya tak satupun yang tak mencintai Honey dengan disabilitas yang dimilikinya. Tak satupun dari mereka yang berusaha untuk menyembunyikan Honey dari masyarakat. Justru mereka dengan bangga menunjukkan pada dunia bahwa mereka punya anak yang "istimewa" (bukan berbeda!) dibandingkan anak-anak lainnya.
Tiba-tiba muncul rasa malu di hatiku. Rasa malu karena aku (tanpa sebab yang jelas) telah menaruh rasa kasihan pada Honey saat pandangan pertamaku jatuh pada wajahnya. Aku juga merasa malu karena telah mengasihani kedua orang tua Honey karena memiliki anak seperti itu. Rupanya, mereka tidak perlu dikasihani.... justru AKU yang perlu dikasihani!
Aku bayangkan diriku, jika aku ada di posisi Suci, aku tak yakin sanggup mencintai Honey tanpa syarat seperti itu. Aku tak yakin mampu bercerita dengan penuh bangga pada dunia bahwa Honey makhluk istimewa, bukannya makhluk yang berbeda. Aku tak yakin akan percaya diri membawa Honey kemana-mana dan bisa menerima pandangan iba (seperti yang sebelumnya aku lakukan) dengan penuh senyum dan permakluman.
Sungguh, aku malu pada pasangan muda itu atas kebesaran hati dan kebesaran cinta mereka menerima Honey apa adanya. Kulirik Suci yang duduk di sampingku. Betapa irinya aku padanya karena di usianya yang semuda itu dia memiliki hati yang luar biasa dan kematangan pribadi yang menawan. Dan aku diam-diam bersyukur karena telah mendapatkan pelajaran berharga berkat pandangan pertamaku pada gadis kecil penyandang disabilitas itu.
Baru beberapa menit aku duduk dan ngobrol seru dengan saudara yang lama tak bertemu, tiba-tiba aku terkejut karena lenganku dicubit-cubit. Aku menghentikan obrolanku dan menoleh karena penasaran ingin tahu siapa yang mencubit-cubitku.
Betapa terkejutnya aku saat menemukan gadis kecil yang memandangku dengan mata super besarnya. Siapapun yang memandang wajah itu pasti akan langsung tahu bahwa gadis kecil itu penyandang disabilitas (ketidakmampuan atau keterbatasan yang menghambat untuk bisa berperilaku seperti orang normal lainnya). Dia meringis memamerkan giginya yang ompong sementara tangannya masih sibuk mencubit-cubit lenganku.
Setelah pulih dari rasa terkejutku, aku mencoba untuk menyapanya dan menanyakan namanya. Namun gadis kecil itu hanya memandangku dan kembali meringis. Dia tak menjawab pertanyaanku tapi malah menghentikan gerakan tangannya yang mencubit-cubit lenganku.
Tak mendapat respon darinya, aku coba beralih pada saudara yang duduk di sebelahku yang tadi ngobrol denganku. Kutanyakan padanya tentang identitas gadis kecil itu. Tapi rupanya saudaraku juga tak mengenalnya. Sekali lagi aku memandang wajah gadis kecil itu.
Dari pandangan pertamaku tadi, tak bisa kutepis rasa kasihan yang tiba-tiba muncul di dalam dadaku. Rasa kasihan akan nasib gadis kecil itu, juga rasa kasihan pada orang tua yang mendapatkan 'anugerah' gadis penyandang disabilitas seperti itu. Dan, diam-diam aku bersyukur bahwa aku tak mendapatkan anugerah seperti itu.
Saat aku tengah termangu memandang gadis kecil itu, tiba-tiba muncul di hadapanku seorang wanita muda yang cantik. Rupanya dia adalah ibu dari gadis kecil itu dan tadi sempat meninggalkan Honey sendiri untuk ke kamar kecil. Melihatku dan anak gadis kecilnya saling memandang dalam diam, wanita cantik itu pun memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan gadis kecilnya. Dia ternyata bernama Suci sementara anaknya bernama Honey. Rupanya, mereka adalah kerabat jauh dari sepupuku yang akan menikah itu. Aku memang belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.
Tanpa kuminta, Suci bercerita tentang Honey. Aku terpana memandang Suci yang bercerita (dengan penuh cinta!) tentang Honey. Dikatakannya bahwa Honey memang belum bisa bicara, meski usianya sudah 4 tahun. Diceritakannya bahwa karena Honey belum bisa bicara, maka niatnya untuk berkenalan dengan orang lain biasanya diwujudkan dengan mencubit-cubit lengan orang itu. Persis seperti yang baru saja dilakukannya padaku.
Selanjutnya Suci dengan bangga bercerita bahwa Honey telah bisa berjalan di saat usianya sudah 2 tahun lebih. Dia bercerita banyak tentang kemajuan dan perkembangan Hoeny, yang sebenarnya bisa dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan anak seusianya. Tapi dia terus bercerita dengan bangga sambil membelai Honey yang duduk dalam pangkuannya.
Tak hanya itu, untuk "melengkapi" ceritanya dia pun memamerkan padaku koleksi foto Honey yang di-uploadnya dalam Facebook. Sempat terbaca olehku foto-foto itu dimasukkan dalam album FB dengan judul : My Lovely Honey. Bukan hanya foto Honey yang aku lihat disana, tapi juga foto Honey bersama kedua orang tuanya dan juga kakek neneknya.
Tak ada yang 'tidak pas' dalam foto-foto itu sebenarnya. Suci, si ibu yang tengah sibuk berceloteh di sebelahku, muda dan cantik. Ayahnya juga terlihat muda dan gagah. Mereka terlihat sebagai pasangan muda yang secara finansial berkecukupan. Sementara kakek nenek di foto itu juga berparas rupawan. Satu-satunya yang (kalau boleh disebut) 'tidak pas' di foto itu adalah munculnya wajah gadis kecil yang berbeda dari wajah gadis kecil kebanyakan : wajah Honey.
Aku tidak menanyakan penyakit apa yang diderita Honey. Tapi yang aku tahu, baik ibu, ayah ataupun kakek neneknya tak satupun yang tak mencintai Honey dengan disabilitas yang dimilikinya. Tak satupun dari mereka yang berusaha untuk menyembunyikan Honey dari masyarakat. Justru mereka dengan bangga menunjukkan pada dunia bahwa mereka punya anak yang "istimewa" (bukan berbeda!) dibandingkan anak-anak lainnya.
Tiba-tiba muncul rasa malu di hatiku. Rasa malu karena aku (tanpa sebab yang jelas) telah menaruh rasa kasihan pada Honey saat pandangan pertamaku jatuh pada wajahnya. Aku juga merasa malu karena telah mengasihani kedua orang tua Honey karena memiliki anak seperti itu. Rupanya, mereka tidak perlu dikasihani.... justru AKU yang perlu dikasihani!
Aku bayangkan diriku, jika aku ada di posisi Suci, aku tak yakin sanggup mencintai Honey tanpa syarat seperti itu. Aku tak yakin mampu bercerita dengan penuh bangga pada dunia bahwa Honey makhluk istimewa, bukannya makhluk yang berbeda. Aku tak yakin akan percaya diri membawa Honey kemana-mana dan bisa menerima pandangan iba (seperti yang sebelumnya aku lakukan) dengan penuh senyum dan permakluman.
Sungguh, aku malu pada pasangan muda itu atas kebesaran hati dan kebesaran cinta mereka menerima Honey apa adanya. Kulirik Suci yang duduk di sampingku. Betapa irinya aku padanya karena di usianya yang semuda itu dia memiliki hati yang luar biasa dan kematangan pribadi yang menawan. Dan aku diam-diam bersyukur karena telah mendapatkan pelajaran berharga berkat pandangan pertamaku pada gadis kecil penyandang disabilitas itu.
Fotonya Honey mana, Mbak?
BalasHapus@Vicky Laurentina >> fotonya Honey disimpen... gak enak kalau dipublish disini :)
BalasHapusoh mb menyentuh banget, semoga menang ya :-)
BalasHapusanak seperti honey memang istimewa :-)
@Yunda Hamasah >> Terimakasih banyak mbak Keke.. :)
BalasHapusnah mbakku ini sekarang rajin update lagi hehehe moga menang ya mbak :D
BalasHapus@Aulawi Ahmad >> mumpung sedang semangat nulis nih... doain deh
BalasHapusDuh, mba Reni..
BalasHapusMengharukan sekali postingan inj sih mba...
Sebagai seorang ibu yang memiliki anak perempuan juga aku merasa kagum sama mama honey dan keluarga nya mba:-)
Mereka keluarga yang hebat:-)
@Bibit Titi Teliti >> makanya, kejadian siang itu tak akan terlupakan olehku mbak. Aku sepakat.. mereka keluarga hebat.
BalasHapus@Djangan Pakies >> Ya Pak, aku benar2 belajar banyak dari Suci dan keluarganya.
BalasHapusBeruntungnya Suci mepunyai keluarga yang mencintainya sepenuh hati ya mbak. Mb Reni tak perlu malu, akuyakin mb Reni pun memiliki hati yg bening, yg akan mencintai buah hatinya segenap jiwa apapaun keadaannya :)
BalasHapus*Peluk buat Honey*
Mba Reni, speechless aku membacanya. Langsung koreksi diri dan bersyukur.
BalasHapus@zaffara >> aku banyak belajar dari ketulusan dan kebesaran hati Suci mbak... Makasih sudah mampir. :)
BalasHapusBagaimanapun juga anak adalah titipan, dan kewajiban kita menjaga dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
BalasHapus@Halaman putih >> memang harusnya begitu, sayangnya banyak ortu yg lupa akan kewajiban itu.
BalasHapusane kok sedih ya gan bacanya, gak tau deh mesti komen apa :D
BalasHapussangat menyentuh hati Bu..
BalasHapus:)
@Cool Games >> semoga sedihnya gak berlarut-larut ya?
BalasHapus@Dihas Enrico >> Memang, aku juga sangat tersentuh dg kejadian siang itu.
Pingin peluk Honey. ;)
BalasHapusNurani manusia tentang kasihan memang terkadang salah tempat ya, Mba.
Kita sering sekali merasa kasihan dengan melihat keterbatasan mereka. PAdahal mereka dan keluarga mempunyai jiwa yang kuat. :)
Cerita yang menginspirasi, Mba.
Terimakasih sudah ikut meramaikan syukuran di Langakah Catatanku, Mba.
Salam Senyum. . . ^_*
Pingin peluk Honey. ;)
BalasHapusNurani manusia tentang kasihan memang terkadang salah tempat ya, Mba.
Kita sering sekali merasa kasihan dengan melihat keterbatasan mereka. PAdahal mereka dan keluarga mempunyai jiwa yang kuat. :)
Cerita yang menginspirasi, Mba.
Terimakasih sudah ikut meramaikan syukuran di Langakah Catatanku, Mba.
Salam Senyum. . . ^_*
@Idahceris >> harus kuakui bahwa memang awalnya rasa kasihan menguasaiku saat pertama memandang Honey, mbak... ternyata aku salah mengasihani mereka. Justru aku yang perlu dikasihani :(
BalasHapus