Pages

Rabu, Desember 11, 2013

Dokter, Antara 2 Pilihan

Masih segar dalam ingatan kita demo yang dilakukan oleh para dokter pada tanggal 27 Nopember 2013 yang lalu. Pada hari itu dokter-dokter melakukan mogok massal, sebagai bentuk solidaritas terhadap upaya (meminjam istilah dari serikat dokter) ‘kriminalisasi’ kasus yang menimpa dr. Dewa Ayu Sasiari beserta kedua rekannya.

Akibat dari aksi tersebut mau tak mau membuat lumpuhnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Begitu juga yang terjadi di kotaku. Pada hari itu Pak Kapolresta sampai mengunjungi RSU milik provinsi yang ada di kotaku. Pak Kapolresta ‘menegur’ Direktur RSU itu karena telah membuat banyak pasien terlantar pada hari itu. Namun, aksi mogok tetap berjalan dan Pak Direktur RS mengatakan bahwa mereka tetap melayani pasien gawat darurat.


sumber : www.merdeka.com

Masyarakat yang tidak mengetahui adanya aksi mogok massal yang dilaksanakan pada hari itu, terpaksa harus rela pulang kembali ke rumah. Padahal, konon kabarnya ada pasien usus buntu yang jauh-jauh datang dari kota tetangga. Pasien ini pun terpaksa memutuskan untuk pulang ke rumah dan akan kembali lagi ke rumah sakit esok hari. Jika dia tetap bertahan pada hari itu pun, dia yakin bahwa dia tetap tidak akan mendapatkan pelayanan.

Itu baru satu contoh kasus pasien yang terlantar akibat aksi para dokter tersebut. Masih banyak contoh kasus lainnya. Coba kita bayangkan, berapa banyaknya rumah sakit, klinik dan sebagainya yang ada di Indonesia yang dokter-dokternya melakukan aksi mogoknya. Terbayang kan berapa banyak pasien yang terlantar pada hari dimana para dokter melakukan aksi mogok massal itu?

Saat itu, yang muncul dalam benak orang awam adalah para dokter sedang memamerkan ‘kuasa’nya. Seolah para dokter ingin menunjukkan bahwa pasien yang membutuhkan mereka, bukan mereka yang membutuhkan pasien. Sebagaimana layaknya orang yang ‘butuh’, maka sewajarnya jika mereka menuruti ‘aturan main’ dari orang yang bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Profesi dokter seakan memiliki otoritas tersendiri, yang sulit tergantikan oleh yang lain. Jika buruh mogok, perusahaan bisa dengan mudah memecatnya dan mencari penggantinya. Jika guru mogok, siswa bisa belajar lewat internet atau membaca buku secara mandiri. Jika sopir mogok, para penumpang bisa berangkat sendiri dengan kendaraan pribadi atau berganti moda transportasi. Jika wartawan mogok, ada banyak jurnalisme warga yang rajin meng-update berita. Jika koki mogok, orang-orang bisa masak sendiri. Jika dokter mogok? Pasien berikut keluarganya jadi kebingungan!

Jadi dokter itu, enak!

Pasien tak mungkin betah berlama-lama sakit. Pihak keluarga pun tak akan tega melihat anggota keluarganya sakit. Demi mendapatkan kesembuhan, dokter adalah pilihannya. Bahkan, banyak keluarga pasien yang sampai rela berhutang demi menyelamatkan nyawa pasien. Melakukan ikhtiar sampai titik darah penghabisan akan tetap dilakukan demi mendapatkan kembali kesembuhan.

Dalam kondisi pasien dan keluarga pasien yang sangat ‘lemah’ seperti itu, para dokter seolah yang memegang kendali. Dokter seolah memiliki ‘harga jual’ yang tinggi. Ibarat kata, dokter mematok harga mahal untuk biaya pemeriksaan dan obat-obatan pun keluarga pasien akan berusaha menurutinya.

Itulah yang menyebabkan masyarakat umum berpendapat bahwa menjadi dokter itu, enak! Di dalam masyarakat, dokter adalah kelompok yang dihormati. Dari segi penghasilan, dokter itu uangnya banyak karena penghasilannya masuk dari mana-mana. Pertama : dari rumah sakit tempatnya bekerja. Padahal, bisa dikatakan dokter-dokter itu tak hanya bekerja di satu rumah sakit saja. Kedua : dari rumah/klinik tempat praktek pribadinya. Ketiga : dari obat yang berhasil dia resepkan kepada pasien.

Tak mengherankan bila para orang tua saat menimang bayinya sering mendoakan agar kelak bisa menjadi dokter. Tak heran jika para orang tua menasehati anak gadisnya untuk bisa menikah dengan dokter, agar hidupnya terjamin. Dokter memang profesi yang menjanjikan untuk mendapatkan ‘strata’ yang tinggi di masyarakat. Dokter adalah profesi yang menjadi incaran para orang tua yang mencari menantu idaman. Dokter merupakan profesi yang memberikan kepastian dalam mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup.

Bukti nyata bahwa profesi dokter itu sangat ‘menjanjikan’ bisa terlihat jelas di sekelilingku. Aku hampir tak pernah menemukan rumah dokter yang biasa-biasa saja. Untuk kelas dokter umum saja, rumahnya sudah pasti bagus, ditambah mobil pribadi yang keren. Kalau dokter-dokter spesialis, jangan ditanya lagi. Rumah gedong dengan mobil berderet-deret di garasi adalah pemandangan yang ‘biasa’.

Saat seorang dokter spesialis membangun rumah gedong di dekat mertuaku, masyarakat di sekitarnya tak henti-henti berdecak kagum. Selain tanahnya yang sangat luas, bangunan rumah itu sangat istimewa. Apalagi ditambah kolam renang yang cukup luas di bagian belakang rumah. Memiliki kolam renang pribadi adalah suatu kemewahan yang luar biasa untuk lingkungan kami.

Setiap hari melihat pemandangan seperti itu, yang terpatri di benak masyarakat tak lain adalah : jadi dokter itu, enak!

Menjadi dokter tidak mudah

Di balik segala macam ‘keuntungan’ menjadi seorang dokter, ada fakta jelas yang tak terbantahkan bahwa untuk menjadi dokter itu tidak mudah! Hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi dokter dan mayoritas dari mereka adalah… orang-orang kaya. Pintar saja tak selalu bisa menjamin seseorang menjadi dokter, karena biaya perkuliahan seorang dokter sangat mahal.

Sudah sangat sering aku mendengar kabar bahwa untuk bisa kuliah kedokteran di universitas bergengsi dibutuhkan dana ratusan juta rupiah. Konon kabarnya, biaya perkuliahan di fakultas kedokteran adalah yang paling mahal. Untuk mereka yang benar-benar berotak cerdas dan berhasil lolos lewat jalur seleksi mungkin biaya yang dibutuhkan bisa sedikit berkurang. Berbeda dengan mereka yang masuk fakultas kedokteran (meski nilai akademis biasa-biasa saja) melalui jalur yang menuntut mereka mampu membayar lebih tinggi.

Beberapa dokter yang aku kenal di kotaku, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis. Walau untuk melanjutkan pendidikan itu mereka harus melakukan banyak ‘pengorbanan', tapi mereka tetap melakukannya. Pengorbanan yang pertama tentu saja mengeluarkan biaya pendidikan yang sangat besar. Pengorbanan kedua adalah mereka harus rela tidak praktek, yang berarti kehilangan salah satu sumber penghasilan, selama masa perkuliahan karena kampusnya jauh dari kotaku.

Selain biaya yang mahal, perkuliahan di fakultas kedokteran tentu saja juga berat. Ada banyak metode pembelajaran yang harus dilalui mahasiswa kedokteran, mulai dari praktikum, magang dan sebagainya. Ada tahapan yang harus dilalui seseorang agar bisa menyandang predikat “dokter” dan menjalankan praktek sendiri. Semuanya memang tak mudah dan tak murah, sehingga (mungkin saja) kemudian muncul harapan untuk bisa ‘membayar’ lunas semua pengorbanan itu kelak saat sudah bisa menjalankan profesinya.

Antara Materi vs Pengabdian

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tarif dokter itu tidak murah. Di kotaku, tarif dokter umum saja sudah terhitung mahal, belum lagi biaya obatnya. Tarif dokter spesialis tentu saja jauh lebih mahal dibandingkan tarif dokter umum. Obatnya pun juga tentu saja jauh lebih mahal. Permakluman masyarakat untuk hal ini yang pernah aku dengar adalah : “Untuk sekolah dokter itu susah, biayanya banyak, jadi wajar kalau tarif dokter jadi mahal. Apalagi untuk jadi spesialis, sekolahnya juga lebih susah. Jadi ya pantas aja kalau tarifnya juga lebih mahal.”

Seorang teman pernah bercerita tentang tetangganya yang periksa ke tempat praktek pribadi seorang dokter spesialis. Sebelumnya si tetangga ini adalah pasien dokter spesialis itu di rumah sakit. Saat si pasien ini periksa di tempat praktek pribadi dokter spesialis itu, sikap sang dokter jauh lebih ramah dan hangat. Padahal selama di rumah sakit dokter itu jarang tersenyum dan tidak ramah, bahkan sulit untuk diajak konsultasi. Saat si pasien bertanya kepada dokter tentang perbedaan sikap itu, dokternya dengan enteng menjawab bahwa karena saat itu sang pasien tersebut membayar biaya sendiri, sementara saat di rumah sakit pasien itu dibiayai oleh Askes.

Memang, selama ini pelayanan terhadap pasien Askes di rumah sakit kurang memuaskan. Sudah banyak keluhan tentang hal itu. Pasien seringkali merasa dipingpong saat hendak mendapatkan pelayanan kesehatan. Saat akhirnya pasien mendapatkan perawatan pun, pelayanannya jauh dari kesan ramah. Berbeda sekali dengan pelayanan terhadap pasien non Askes, atau pasien Askes yang kelas VIP.

Temanku yang beristrikan seorang dokter pernah mengeluh tentang rumah sakit daerah tempat istrinya bekerja. Dia berkata bahwa dulu saat istrinya masih bekerja di rumah sakit provinsi, dengan status PTT, tapi penghasilannya sangat besar. Berbeda sekali dengan penghasilan sang istri saat di rumah sakit daerah. Meskipun sang istri berstatus PNS, tapi penghasilannya jauh lebih kecil daripada penghasilannya sebagai PTT di rumah sakit provinsi dulu.

Berdasarkan semua kejadian di atas, kesimpulan yang dapat kuambil adalah dokter-dokter berada pada 2 pilihan yaitu materi dan pengabdian. Namun, dari sekian banyak cerita yang aku dapat, ternyata saat ini banyak dokter yang lebih memilih mengejar materi daripada memberikan pelayanan terbaik kepada pasien. Hal ini mungkin dilakukan karena (sesuai anggapan umum) dokter-dokter itu berusaha untuk mendapatkan kembali modal yang mereka keluarkan dulu saat kuliah. Sayangnya usaha balik modal ini akhirnya keterusan. Saat sebenarnya modal sudah balik seutuhnya, mereka masih terus mengejar materi karena materi itu memang sungguh melenakan.

Saat seperti itu, muncul rasa pesimis akan adanya dokter yang mau mendedikasikan dirinya secara penuh untuk memberikan pengabdian kepada pasien yang membutuhkan. Untungnya, muncul nama-nama dokter yang luar biasa. Dulu ada dr. John Manangsang di Digul. Belakangan muncul berita tentang dr. Lo Siaw Ging dan dr. Maria Retno Setjawati di Solo yang mengutamakan pengabdian daripada mengejar materi semata.

Mungkin juga masih ada dokter-dokter budiman di berbagai pelosok negeri yang tak terendus media, yang telah dengan sepenuh hati mengabdikan diri kepada masyarakat. Berkat merekalah, masyarakat bisa kembali menumbuhkan harapan bahwa di antara pasien-pasien yang putus asa, ternyata masih ada dokter yang peduli. Bahwa saat sebagian besar orang menilai bahwa nilai pelayanan setara dengan nilai uang yang dibayarkan, ternyata masih ada dokter yang justru tidak peduli dengan imbalan yang mereka terima.


dr Lo yg tak pernah minta bayaran dari pasiennya
sumber : www.tribunnews.com



dr Maria yg mengabdikan diri utk kaum pinggiran
sumber : viva.co.id

Semoga saja, dr. Lo dan dr. Maria panjang umur. Dan semoga kelak akan muncul lebih banyak dokter-dokter berjiwa sosial yang bersedia mengabdikan diri kepada masyarakat dengan sepenuh hati. Aamiin.

Lomba Blog FPKR


27 komentar:

  1. Dokter,...betapa hampir 11 tahun terakhir ini duniaku bersinggungan trus dgn tenaga meedis ini mba. Banyak kisah suka dan duka bersama profesi dokter ini. Masih bersyukur krn sampai hari ini masih dipertemukan dgn dokter2 hebat dan baik ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah jika selama ini mbak Irma mendapat pelayanan yg menyenangkan... tp mungkin juga karena mbak Irma adalah pasien yg 'manis' dan menurut apa saran dari dokter, jadi disayang deh hehehe. Tetap sehat ya mbak... #peluk

      Hapus
  2. Efek dari pemerintah yang membiarkan asas kapitalisme nih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa... begitulah. Semoga segera aja ada 'reformasi' di bidang kesehatan masyarakat ini

      Hapus
  3. mbak, baca jawapos hari ini? halaman depan paling bawah?
    keren tuh, ada komunitas mahasiswa kedokteran yang melakukan kerja sukarela, karena terketuk melihat teman-temannya sejak kuliah sudah berorientasi pada materi semata. padahal menurut mereka, seorang dokter juga berkewajiban tidak hanya mengobati, tetapi juga terjun ke tengah tengah masyarakat, membantu pencegahan dan penangkalan penyakit dengan membenahi apa apa yang kurang di masyarakat.... jadi tujuannya agar masyarakat gak sakit gitu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak informasinya mbak Elsa...
      Komunitas Dokter Volunteer seolah menjawab semua "kegalauan" yg aku curahkan di atas. Berkat informasi mbak Elsa, aku akhirnya membuat sebuah tulisan lagi soal Dokter Volunteer di Catatan Kecilku. :)

      Hapus











  4. udah lama banget nggak kesini.. :)
    komen dulu sebelum baca.. hehehe.
    tambah segar blognya mbak... like it pokoknya..



    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak sudah mampir. BTW itu kenapa komentar 'melorot' sekali ya?

      Hapus
  5. "dokter" adalah profesi yang sangaat mulia, jikapun ada beberapa atau mungkin byk oknum dokter yang pilih2 pasien atau bahkan pelayanannya tidak sesuai, bisa jadi itu karna oknum tersebut "terpaksa" menjadi dokter, hingga orientasinya hanya untuk "uang", etc.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang namanya "oknum" memang ada dimana saja... di segala profesi ya? Hanya saja... saat ini yang sedang ramai diperbincangkan adalah profesi dokter.

      Hapus
  6. Saya rasa dengan adanya kejadian-kejadian terakhir baik yang masuk ranah hukum maupun adanya demo, paling tidak memberikan pemberlajaran pada semua pihak, praktisi dokter, dan masyarakat umum. Saya yakin ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap posisi mereka masing-masing. Mudah-mudahan kejadian tersebut semua menjadi hal yang lebih positip untuk pelayanan yang lebih baik. sehingga muncul karakter-karakter seperti dokter Lo dan dokter Maria

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segala kejadian pasti memberikan hikmah bagi kita utk bisa diambil pelarajan darinya ya Pak. Semoga saja, dalam kasus ini banyak pihak yang kemudian tergerak untuk memperbaiki sektor pelayanan masyarakat dalam segala aspek.

      Hapus
  7. hahaha pilihan hidup masing" gan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener... hidup memang pilihan dan semoga makin banyak orang yang memilih hidup yang bermanfaat bagi banyak orang ya?

      Hapus
  8. dokter Lo sosok yang sangat langka di jaman sekarang, semoga akan ada dr Lo yang lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, beliau memang "langka"... padahal usianya sekarang sudah di atas 70 tahun tapi masih terus bekerja... semoga saja beliau diberikan kesehatan dan umur panjang. Aamiin.

      Hapus
  9. Tambah jengkel lagi, nemu berita ada dokter yang nggak bertanggungjawab, malah melakukan tuntutan hukum. Seperti yang terjadi pada P dan RS O. Padahal masalahnya nggak akan serumit itu kalau saja masing2 mau saaling bermusyawarah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terkadang demi mempertahankan nama baik, mereka gak mau mengalah... dan tetap memilih untuk menyalahkan pihak lain. :)

      Hapus
  10. Selama bersentuhan dengan dunia medis, saya belum pernah mendapatkan pelayanan yang menarik, dan menyenangkan...kecuali, ketika kami mengambil jalur "mahal". maksudnya, pelayanan VIP kah, atau dokter praktek Khusus...baru deh senyum ada dimana-mana dan pelayanan sesuai dengan harapan pasien...

    Sehingga yang tersimpan dalam benak saya hanya kalimat "ORANG MISKIN DILARANG SAKIT" dan kami sangat maklum, karena bukan rahasia umum lagi bahwa biaya kuliah dokter itu sangat "MAHAL" sehingga untuk menjadi dokter perlu menjual segenap harta yang kita punya termasuk kadang-kadang harga diri...

    Dan fenomena dunia medis menurut saya memang butuh perubahan, tidak hanya dari segi pelayanannya tapi lebih pada sistem yang membentuk duni medis!

    salam silaturahmi mbak, ijin follow :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keluhan spt itu memang sangat sering aku dengarkan... memang pada kenyataannya orang2 miskin sulit sekali mendapatkan pelayanan yg selayaknya karena mereka tak punya biaya untuk membayar biaya pelayanan itu.

      Semoga saja sistem di dunia kesehatan dapat diperbarui dan berpihak pada rakyat kecil, sehingga kelak siapa saja bisa mendapatkan pelayanan yg baik

      Hapus
  11. ini bagus banget mba tulisannya.
    aku aja udah setaun lebih ga ke dokter, msh trauma gara2 terakhir sakit salah diagnosa trus salah dikasih obat yg ternyata bikin alergi. setelah itu aku browsing2 dan mulai hidup sehat aja - olah raga, istirahat & makan dijaga - alhamdulillah udah setahun lebih ini ga minum obat kimia gitu dan ga ketemu dokter

    BalasHapus
  12. Salut sekali dengan Tulisan Anda..
    semoga jadi juara nya...
    Kalau bisa jangan sampai punya masalah dg 2 hal ini: RS & POLISI
    Jangan sampai deh... Karena 2 hal itu bisa sangat merugikan diri kita sendiri dan orang lain.

    Eitz jangan salah paham dulu, disini maksudnya adalah, agar kita selalu menjaga kesehatan kita. Kalau sakit, semua di sekitar kita juga akan merasa repot.
    poin ke 2 adalah, agar kita berlaku baik dan tidak melanggar hukum yang berlaku.
    :D

    BalasHapus
  13. Salam sukses..,, sungguh hebat tulisan Anda.
    semoga mereka jadi "melek" membaca tulisan ini.
    eh iya, kami juga ingin menginformasikan e-Compusoft Blog Contest

    Total Hadiah Jutaan Rupiah lho...
    Hadiah Langsung pulsa 10.000 bagi 100 Pendaftar Pertama.

    Info selengkapnya:
    e-Compusoft Writing Competition

    Bagi sahabat blogger jangan lupa kasih info ini ke yg lain ya...
    Terima kasih....

    BalasHapus
  14. ijin share ya mbak renii.. dan salam kenal saya orang madiun jugaaa :)

    BalasHapus

Komentarnya dimoderasi dulu ya? Terimakasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. (^_^)